Lembanna. Sebuah lokasi di bawah rumpun pinus nan sejuk. Lokasi ini menjadi titik awal pendakian ke Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, Sulsel. Di sanalah Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI) cabang Kabupaten Gowa melakukan kegiatan bermakna. KegiatanLiterasi. Kegiatan dilaksanakan selama dua hari, Rabu hingga Kamis, 28—29 Oktober 2020. Kegiatan kami mulai di hari Rabu sore, menjelang petang. Eh, saya lupa. Sebelum lanjut, kegiatan ini kami beri nama, Kemah Literasi, Sastra, dan Budaya, disingkat Kemah Lisabu. Kegiatan yang telah menjadi program kerja Himpunan Pembina Bahasa Indonesai (HPBI) cabang Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan masih dalam rangka memperingati Bulan Bahasa tahun 2020.
Karena kemah, kegiatan kami sepakati dilaksanakan di wilayah perkemahan, hutan pinus Lembanna. Karena kemah, kami sepakat mengikutsertakan keluarga masing masing. Jadilah saya berangkat berdelapan dalam satu mobil. Saya, istri, tiga anak kami, dua orang tetangga, dan satu orang sahabat sekaligus sebagai pemateri dalam kegiatan tersebut. Lah, kok malah curhat ke sana ya. Baik, mari kita lanjutkan, kawan. Kita berbagi sepenggal kisah pada kegiatan tersebut.
Fondasi awal literasi adalah keluarga
Bachtiar Adnan Kusuma, penggagas Gerakan Literasi Lorong Sulawesi Selatan, penggagas Gerakan Indonesia Membaca dan Menulis, bertindak sebagai pembincang pertama. Didampingi oleh Suparmin, wakil sekretaris HPBI, sebagai moderator, Adnan berkisah panjang lebar perjuangannya membumikan gerakan literasi di bumi nusantara. Beliau menjelaskan bahwa gerakan literasi yang terkenal di tahun 2016 sebenarnya salah kaprah. Gerakan literasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1983. Nah, di tahun 2016, barulah kembali digalakkan gerakan literasi yang dikenal dengan GLN (Gerakan Literasi Nasional). Dari situ, semua simpul gerakan literasi kembali muncul ke permukaan. Di sekolah pun, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dimulai dengan program minimal membiasakan membaca 15 menit sebelum pembelajaran jam pertama dimulai.
Pemateri yang sekaligus mendedikasikan dirinya sebagai penulis menambahkan bahwa fondasi utama gerakan literasi adalah keluarga. Beliau mencontohkan, dalam keluarganya, dia beserta istri menggerakkan keteladanan dalam literasi. Setiap pagi, ayah empat anak ini beserta istri menyempatkan diri membaca buku minimal 30 menit. Selain itu, sang istri, sebelum memasak menu sesuatu, dia membiasakan diri untuk membaca resep masakan tersebut. Bukan tidak tahu, tetapi lebih pada menggalakkan keteladanan literasi kepada anggota keluarga. Beliau pun memiliki gerakan mematikan televisi dan bermain telepon genggam sejak hari Senin hingga Jumat. Setiap ruang dalam rumah pun dipenuhi dengan buku. Kamar santai, dapur, ruang tamu, kamar tidur, hingga toilet sekalipun terdapat pajangan buku. Semua ini bertujuan menciptakan atmosfer cinta membaca dalam keluarga.
Bagaimana gerakan literasi di sekolah? Menjawab pertanyaan dari salah seorang peserta, pria yang telah menerbitkan ratusan buku menyampaikan bahwa kita butuh sinergitas. Kita butuh gubernur pro-literasi. Kita butuh bupati yang cinta literasi, kita butuh kepala dinas dan kepala sekolah yang memihak terhadap gerakan literasi. Guru-guru di sekolah pun harus dibiasakan membaca sebelum masuk ke ruang kelas. Dari situ, barulah gerakan literasi ini kita arahkan kepada peserta didik. Perpustakaan pun tidak sekadar menjadi gudang buku. Perlu strategi sehingga peserta didik memiliki minat untuk berkunjung ke ruang tersebut. Beliau menjelaskan, jika di sekolah gerakan 15 menit sebelum membaca dilakukan secara masif dan konsisten setiap hari, dari Senin hingga Jumat misalnya, berarti dalam sehari setiap siswa minimal mengetahui 200 hingga 300 kata baru. Jika dikali dengan sepekan (Senin—Jumat) berarti setiap peserta didik mengenal lema baru sebanyak 1000 hingga 1500. Bagaimana jika ini dilakukan dalam satu bulan, satu tahun, bahkan hingga tiga tahun pada tingkat SMP dan SMA/SMK. Sementara SD hingga 6 tahun. Mari kita berpikir, berapa kata baru yang tersimpan dalam memori peserta didik. Tapi ingat, hal ini harus dilakukan secara konsisten.
Beliau menutup perbincangan yang berlangsung kurang lebih 2 jam dengan harapan bahwa gerakan literasi ini harus kita lakukan bersama-sama. Mulai dari diri sendiri, keluarga, lalu kita mengajak orang sekitar kita. Dengan berbagai cara, pastinya.
Bahasa tidak melulu bahasan mikro
Materi kedua kami bincangkan selepas salat Isya. Malam semakin dingin. Seksi konsumsi dengan lihai memesan Sarakba, minuman khas Sulawesi Selatan yang dibuat dari bahan dasar jahe dan santan. Sesekali dicampur susu, madu, atau telur. Bergantung selera. Pisang goreng menjadi penganan pendamping. Para peserta mengambil jaket masing-masing. Bahkan ada yang melengkapi diri dengan penutup kepala, memakai masker, jaket tebal, kaus tangan, hingga kaus kaki. Sebagian memilih mengikuti materi dari balik tenda. Tenda memang kami dirikan melingkar dan di bagian tengah kami pasang tenda berwarna biru sebagi alas diskusi. Kanda Ronisalasa, wakil ketua HPBI Gowa mendampingi Kanda Dr. Amal Akbar untuk memantik diskusi malam. Kanda Amal memulai perbincangan dengan kalimat litotes. “Malam ini, kita berdiskusi, bukan antara peserta dan pemateri.” katanya. Saya mengenal beliau memang selalu seperti itu. Tak apa. Yang penting ilmu beliau tersampaikan kepada kami yang lebih banyak berasal dari pendidik di sekolah.
Bahasa tidak melulu berbicara tentang hal-hal sederhana. Akan tetapi, terkadang satu kata yang diucapkan seseorang bisa berujung pada pertengkaran, pembunuhan, atau bahkan berakhir di balik jeruji. Setiap penutur dan petutur memiliki rasa yang berbeda terhadap sebuah teks. Pun setiap konteks berpengaruh terhadap teks yang meluncur dari mulut seseorang. Bahkan, seorang hakim bisa saja salah memutuskan pasal hukuman karena salah menafsirkan bahasa pada kasus tertentu. Jadilah perbincangan semakin serius hingga linguistik forensik. Peserta pun menyeruput Sarakba masing-masing. Di sudut tenda, ada yang sibuk bermain dengan asap dari sebatang rokok.
Lalu apa yang dapat kami lakukan?, tanya seorang peserta. Langkah awal, pencegahan. Setiap orang harus bijak dalam berkomunikasi, terutama di ruang publik dan media sosial. Kita, sebagai orangtua, harus mengajari anak-anak di rumah untuk bijak menggunakan media sosial. Mereka harus menggunakan bahasa secara santun. Di sekolah, peserta didik harus diajak berkomunikasi dengan baik sehingga setiap yang diucapkan bisa dipahami dengan baik oleh lawan bicara, tidak membuat lawan bicara tersinggung, atau malah menjadikan petutur melaporkan kita ke pihak berwajib karena dianggap melakukan perisakan atau tindakan mengecewakan lain. Jika hal ini terjadi, masalah akan semakin ruwet. Oleh karena itu, pencegahan menjadi hal utama.
Selain itu, seseorang mesti betul betul paham bahasa sebelum melakukan respons terhadap ujaran tersebut. Doktor yang berprofesi sebagai dosen ini mencontohkan, suatu ketika teks “Salat boleh di langgar” menjadi perbincangan seru di media sosial padahal hanya perlu pemahaman membedakan antara kata depan dan imbuhan.
Mancakrida menjadi kegiatan penutup
Seluruh peserta memutuskan rehat di tenda masing-masing pada pukul 23.15 Wita. Walau di tenda masih terdengar obrolan hangat antara anggota keluarga. Kemah yang penuh makna. Subuh menjelang. Azan dari musalah di antara rimbun pinus menggema. Mata masih malas terbuka. Selimut terekat erat di setiap lekukan tubuh. Dingin. “Salat itu lebih baik daripada tidur”. Dengan sigap, satu per satu peserta kemah terbangun. Menyembul dari balik tenda walau jemari masih bergetar. Semua menuju ke panggilan muazin. Salat subuh secara berjemaah berlangsung khusyuk.
Setelah itu semua kembali ke tenda. Ada yang memilih kembali masuk ke tenda untuk menghangatkan badan. Yang lain segera menyalakan kompor lalu memanaskan air. Beberapa memilih diskusi tentang apa saja. jangan bertanya tentang mandi. He..he… sepertinya kata itu tidak berlaku saat ini.
Jam menunjukkan pukul 8.00 Wita. Ketua HPBI menyapa sambil bertanya tentang kegiatan selanjutnya. Ketua panitia segera mengambil pelantang suara. Memanggil seluruh peserta untuk berkumpul di lapangan. Kegiatan awal dimulai dengan senam sederhana. Sekadar menghangatkan badan. Toh, lebih banyak peserta yang tidak menghafal gerakannya.
Kegiatan berlanjut ke mancakrida. Kegiatan yang lebih dikenal dengan outbound diambil alih oleh instruktur yang memang telah diundang. Berbagai macam kegiatan dilakukan dengan diakhiri refleksi tentang manfaat kegiatan tersebut. Ada yang membutuhkan kerja sama. Kegiatan lain bermakna betapa perlunya komunikasi dalam tim. Ketua kelompok pun menggambarkan peran pemimpin dalam sebuah organisasi menjadi sangat vital. Akan tetapi, jangan lupa, terkadang setiap orang dalam organisasi mesti berpikir sendiri dan mengambil tindakan cepat agar roda organisasi terus berputar. Dua jam lebih menjadi kegiatan mancakrida penuh makna.
Kegiatan ditutup dengan menyanyikan Himne bahasa Indonesia yang dipandu langsung oleh ketua HPBI Cabang Gowa, Dr. Ulfa Tenri Batari, M.Pd.
Terima kasih, panjang umur perjuangan.