Pembelajaran dalam jaringan (daring) kembali dilaksanakan. Seluruh sekolah yang memutuskan untuk tetap belajar dari rumah menyusun jadwal dan menyesuaikan dengan kondisi peserta didik. Begitupun dengan sekolah kami. Jauh-jauh hari, pembagian jadwal pembelajaran telah disusun dan dibagikan oleh pihak kurikulum. Seluruh pendidik berbenah. Menyusun, mendiskusikan, dan menyetor perangkat pembelajaran khusus edisi pandemi Covid-19. Perangkat pembelajaran disusun sebagai panduan pembelajaran daring yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Banyak pendidik yang kalang kabut. Mencari referensi sebagai pembanding. Penyedia layanan di internet terakses dengan cepat dan padat. Kementerian Pendidikan melalui laman guru berbagi pun memberikan kesempatan kepada seluruh pendidik di wilayah Indonesia untuk berbagi perangkat pembelajaran.
Semua itu terlewati. Saatnya aksi. Saatnya memulai pembelajaran. Saya, sebagai pendidik bahasa Indonesia, memulai pembelajaran daring dengan memanfaatkan pertemuan pertama sebagai waktu untuk refleksi. Enam kelas yang saya ajar telah dibuatkan grup Whatsapp. Saya sendiri yang buat sehingga hanya satu admin. Dengan leluasa kontrol terhadap grup bisa dilakukan. Peserta didik hanya boleh berkomentar ketika diizinkan. Pembelajaran pada pertemuan perdana cukup melalui grup WA. Sebagai refleksi di pertemuan awal, saya meminta peserta didik menuliskan pengalaman pembelajaran jarak jauh yang telah dilaksanakan selama tiga bulan. Kedua, meminta tanggapan perasaan mereka menghadapi pandemi ini. Terakhir, saya meminta mereka menuliskan harapan khusus dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Ratusan tulisan masuk. Berbagai macam harapan. Ada yang menuliskan positif negatif belajar daring. Ada yang menyukai karena dengan PJJ berbagai macam aplikasi mereka tahu. Pun tak banyak yang benci. Mereka bosan dan jenuh belajar di rumah. “Tak ada komunikasi, tak ada canda tawa”, tulisnya. Berikut saya pilih beberapa komentar mereka. Intinya Bapak Ibu pendidik, lakukan refleksi sebelum dan setalah pembelajaran dilakukan.